Selamat datang di Perjalanan Hidup Mas Riyan Apriyanto. Dalam dunia komputer banyak sekali yang perlu digali di dalamnya, yang menyangkut dari perangkat keras komputer (Hardware), Perangkat Lunak (Software), Desain Grafis, Internet Programming, Pemprograman Database dan ilmu umum lainnya yang perlu kita kaji dan kembangkan untuk bisnis maupun sebagai pengetahuan dalam Perjalanan Hidup kita. Salam Persaudaraan.

       
Berbagi ilmu pengatahuan komputer dan artikel
    

Selasa, 30 Maret 2010

Batas Maritim Indonesia Singapura

Sengketa Batas Maritim Indonesia-Singapura dari Sisi Teknis

Oleh I Made Andi Arsana

ampaknya hubungan Indonesia dan Singapura kembali terganggu dan cenderung tegang belakangan ini. Pasalnya, isu batas maritim kembali mengemuka, sebuah topik yang sesungguhnya sama sekali tidak baru bagi kedua negara. Salah satu isu terkait yang menyita perhatian adalah reklamasi pantai yang dilakukan Singapura. Apakah benar seperti kekhawatiran banyak orang reklamasi itu akan mempengaruhi klaim maritim Singapura dan batas maritim antara Indonesia dan Singapura?

Mari kita lihat sejenak prinsip-prinsip delimitasi batas maritim internasional sebelum lebih jauh melihat ketegangan kedua negara. Delimitasi batas maritim diatur dalam hukum laut internasional yang dalam hal ini diejawantahkan dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) atau Konvensi PBB tentang Hukum Laut. UNCLOS 1982 adalah konvensi termutakhir yang dewasa ini diratifikasi sebagian besar negara pantai di seluruh dunia termasuk Indonesia dan Singapura. Dalam menyelesaikan batas maritimnya, kedua negara sudah sepantasnya mengacu kepada UNCLOS 1982.

UNCLOS menjelaskan secara terperinci beberapa hal terkait yurisdiksi maritim negara pantai. Hal yang diatur adalah garis pangkal sebagai acuan dalam mengukur lebar zona maritim yang bisa diklaim oleh negara pantai; jenis zona maritim, dimensi dan karakter masing- masing zona maritim; serta delimitasi batas maritim antarnegara jika terjadi tumpang-tindih klaim.

Zona maritim yang dimaksud adalah laut teritorial (12 mil laut, ML), zona tambahan (24 ML), zona ekonomi eksklusif - ZEE (200 ML), dan landas kontinen (hingga 350 ML atau lebih berdasarkan kriteria tertentu yang diatur dalam Pasal 76 UNCLOS). Mil laut (ML) merupakan satuan yang digunakan dalam lingkungan maritim terkait hukum laut, yang dalam hal ini 1 ML sama dengan 1.852 meter.

Sesungguhnya zona maritim bisa diklaim secara unilateral tanpa berurusan dengan negara lain sepanjang klaim tersebut tidak melanggar atau mengganggu klaim negara lain (tetangga). Meski demikian, pada kasus Indonesia dan Singapura, tampaknya tidak mungkin bagi Indonesia mengklaim semua jenis zona maritim (laut teritorial, zona tambahan, ZEE, dan landas kontinen) tanpa mengganggu klaim Singapura, demikian pula sebaliknya. Mengingat lokasinya yang sangat berdekatan satu sama lain, Indonesia dan Singapura bahkan perlu melakukan delimitasi untuk laut teritorial mengingat jaraknya yang kurang dari dua kali 12 ML.

Penandatanganan Perjanjian

Perlu dicatat, Indonesia dan Singapura sudah menyepakati batas maritim internasional di Selat Singapura. Kedua negara itu menandatangani perjanjian batas laut territorial pada 25 Mei 1973, yang menetapkan enam titik batas sebagai titik belok garis batas. Indonesia meratifikasi perjanjian tersebut pada 3 Desember 1973, sedangkan Singapura meratifikasi perjanjian tersebut kira-kira setahun kemudian, 29 Agustus 1974 (The Geographer, 1974). Sejak kedua negara meratifikasi, perjanjian tersebut secara resmi berlaku dan mengikat secara hukum.

Lepas dari dicapainya kesepakatan antara Indonesia dan Singapura di awal tahun 70an, penting untuk diketahui bahwa kedua negara belum menyelesaikan delimitasi batas maritim untuk keseluruhan kawasan maritim yang seharusnya didelimitasi. Masih ada segmen di sebelah barat dan timur yang harus diselesaikan. Perundingan untuk ini sebenarnya sudah dimulai pada tahun 2005 dalam rangka menyelesaikan perjanjian batas maritim 1973. Sejumlah perundingan telah dilakukan baik di Indonesia maupun Singapura, yang sayang sekali belum menghasilkan kesepakatan final antara kedua negara.

Sementara itu, Singapura sendiri sangat aktif melakukan reklamasi dan konstruksi pelabuhan, yang berakibat pada perubahan bentuk pantainya. Reklamasi itu secara signifikan menggeser garis pantai Singapura ke arah selatan. Pertanyaannya kemudian, "apakah perubahan garis pantai berpengaruh bagi klaim maritim Singapura?" Lebih jauh lagi, "akankah perubahan itu mempengaruhi perjanjian batas maritim antara Indonesia dan Singapura?" Untuk menjawab pertanyaan itu, kita bisa mengacu pada UNCLOS, yang dalam hal ini telah diratifikasi kedua negara.

Menurut hukum internasional, klaim maritim atau yurisdiksi maritim diukur dari garis pangkal. Garis pangkal bisa berupa garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik tertentu di tepi daratan atau garis pangkal normal yang merupakan representasi dari garis pantai ketika air surut terendah.

Pertanyaan penting selanjutnya, akankah reklamasi pantai yang dilakukan Singapura dapat mengubah garis pangkalnya? Mungkin tidak mudah untuk segera menjawab ini, tapi kita memiliki UNCLOS yang bisa membantu. Pasal 11 dalam UNCLOS menyebutkan, "Untuk tujuan delimitasi laut territorial, bagian terluar instalasi pelabuhan yang merupakan bagian integral dari pelabuhan dapat diperlakukan sebagai bagian dari pantai."

Pasal itu juga dijelaskan lebih jauh secara teknis dalam Pe- tunjuk Aspek Teknis UNCLOS (TALOS) yang menyatakan instalasi pelabuhan itu meliputi struktur permanen buatan manusia di sepanjang pantai dan merupakan bagian integral dari sistem pelabuhan seperti pelindung pantai, dermaga, fasilitas pelabuhan lain, terminal pantai, dinding laut. Instalasi pelabuhan semacam itu bisa digunakan sebagai bagian dari garis pangkal untuk delimitasi laut territorial dan yurisdiksi maritim lainnya.

Seandainya reklamasi pantai yang dilakukan Singapura bertujuan untuk membangun struktur seperti yang dimaksud oleh Pasal 11 UNCLOS, jelas instalasi semacam itu bisa digunakan sebagai garis pangkal. Akibatnya, garis pangkal yang berubah berpotensi mengubah klaim maritim Singapura menjadi lebih ke selatan mendekati Indonesia.

Meski demikian, perubahan garis pangkal semacam itu tidak akan bisa mengubah perjanjian batas maritim yang sudah disepakati sebelumnya. Artinya, batas laut territorial 1973 antara kedua negara tidak akan berubah karena reklamasi itu, kecuali keduanya menghendaki dengan kesepakatan baru, teta-pi tidak serta-merta karena rek- lamasi.

Perubahan garis pangkal hanya mungkin berpengaruh pada klaim maritim dan batas yang belum disepakati. Dalam rangka menyelesaikan perjanjian 1973, semestinya diantisipasi bahwa ada kemungkinan Singapura akan mengusulkan pengguna- an garis pangkal baru pascareklamasi.

Meski demikian, kekhawatiran itu tentunya tidak akan menjadi isu seandainya kemudian dibuktikan bahwa reklamasi tersebut tidak untuk membangun struktur yang merupakan bagian integral dari pantai seperti diisyaratkan Pasal 11. Tentunya hal itu memerlukan investigasi teknis dan legal yang sangat cermat. Penulis percaya, orang- orang yang terlibat dalam negosiasi, terutama dari Indonesia, memahami hal itu dengan baik.

Referensi Geodesi

Lepas dari adanya kemungkinan perubahan garis pangkal Singapura, ada satu isu penting lain terkait batas maritim Indonesia-Singapura, yaitu tidak disebutkannya datum geodesi (referensi geodesi) secara eksplisit. Harus dipahami, koordinat lintang bujur tanpa datum geodesi yang jelas sesungguhnya tidak menginformasikan apa-apa.

Koordinat semacam itu tidak mengacu pada posisi tertentu di permukaan bumi, yang berarti titik atau garis batas yang diwakili koordinat tersebut tidak ada di lapangan. Secara teoretis titik-titik batas semacam itu tidak bisa ditentukan posisinya di permukaan bumi.

Adalah tidak mungkin, secara teoretis, mengatakan adanya pelanggaran batas tanpa adanya datum geodesi yang jelas. Sebagai contoh, bagaimana seorang petugas menentukan seberapa jauh sebuah kapal telah melewati batas, sedangkan batasnya sendiri tidak bisa ditemukan posisinya di lapangan?

Dalam kasus seperti itu, penggunaan alat navigasi modern seperti global positioning system (GPS) tidak akan membantu karena GPS memiliki datum tertentu sedangkan koordinat titik batas tidak jelas datum geodesinya. Hal itu merupakan tanggung jawab pakar teknis (dalam hal ini surveyor geodesi) untuk menghindari kesalahan yang sama dalam delimitasi batas maritim selanjutnya.

Akhir kata, penetapan batas maritim antara Indonesia dan Singapura seharusnya diperlakukan sebagai sesuatu yang urgen. Kolaborasi antara pakar teknis, hukum dan politis, tentunya mutlak dilakukan untuk mencapai hasil yang adil bagi kedua belah pihak.

Posting Lebih Baru

Share
Posting Lama Beranda
 

©2012 My Blog, Design by Riyan Apriyanto 2012 and Powered By Blogger